Penemuan Harta Karun Lumpur Lapindo Sidoarja yang tak Terduga
Penemuan Harta Karun Lumpur Lapindo-Belasan tahun sudah lamanya bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kerugian yang dialami oleh masyarakat tak ternilai sudah seberapa banyak. Namun, belum lama ini ditemukan fakta menarik bahwa ditemukannya “harta karun” super langka di lokasi semburan lumpur panas tersebut.
Seperti dilansir dari CNBC, Badan Geologi Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) ditemukannnya keberadaan logam tanah jarang (LTJ)
atau rare earth serta potensi logam raw critical material di sana.
Potensi dari logam raw critical material sangat besar dan diduga
melebihi dari kapasitas logam tanah jarang di daerah tersebut.
Serta pemerintah juga telah menemukan kanduang Lithium dan
Stronsium yang memeliki jumlah cukup besar pada lumpur Lapindo. Kandungan Lithium
dan Stronsium diduga lebih besar dari kandungan logam raw critical material
logam tanah jarang.
Menurut Eko Budi Lelono sebagai Kepala Badan Geologi
Kementrian ESDM, pada tahun 2020 kandungan potensi Lithium pada lumpur Lapindo
memiliki kadar 99,26% hingga 120 part per million (PPM) atau bagian per sejuta
satuan konsentrasi.
Apa manfaat harta karun Lapindo?
Seberapa berharga temuan – temuan tersebut sehingga
disetarakan dengan “harta karun”?
Ternyata Lithium dan Stronsium sama – sama berfungsi sebagai
bahan baku energi dalam pembuatan baterai, khususnya baterai pada kendaraan listrik,mineral
tanah jarang juga bahkan dapat menjadi bahan baku pembangkit listrik tenaga
nuklir (PLTN).
Salah satu manfaat dari logam tanah jarang yaitu sebagai
bahan baku baterai kendaraan listrik. Selain itu logam tanah jugda dapat menghasilkan
monasit yang bisa dikembangkan menjadi berbagai macam jenis produk.
Kemudian, timah tanah jarang dapat dimanfaatkan dalam industry
Kesehatan, seperi dalam alat pendeteksi kanker dan penyakit lainnya. Timah tanah
jarang juga dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, penyimpanan listrik,
dan pendukung tambang.
Oleh karena itu pemerintah saat ini sedang berfokus untuk
mengelola mineral Lithium dan Stronsium, serta logam tanah jarang. Sejauh ini
penelitian yang dilakukan pemerintah terbilang dangkal dan baru dilakukan
analisis secara umum saja, belum ada penelitian secara mendalam.
Nantinya pemerintah akan melakukan kerjasama dengan pihak
asing untuk melakukan proses ekstraksi. Salah satunya dengan Lembaga Energy
Resource Government Initiative dari Amerika Serikat.
Sudah banyak badan usaha yang ingin menggarap proyek di
Lumpur Lapindo tersebut akan tetapi, pemerintah sendiri belum membuka lelang
untuk proyek ini. Potensi yang dimiliki bidang ini memang luar biasa besar. Menurut
kementrian ESDM, kebutuhan Lithium untuk pengembangan kendaran listrik hingga tahun
2030 bisa mencaoai 758.693 ton yang akan dipergunakan untuk 2 juta unit mobil listrik
dan 13 juta unit motor listrik.
Siapa yang akan menguasai harta karun ini?
Permasalah yang muncul sekarang siapakah yang menguasai situs
lumpur Lapindo yang penuh dengan kandungan harta karun ini? Apakah masih
menjadi milik Lapindo Brantas, Bakrie Group, atau sidah menjadi milik
pemerintah?
Dilansir dari Bisnis Indonesia, sekertaris dari perusahaan
Minarak Group Anada Arthaneli mengatakan bahwa status tersebut mengacu pada
peta area terdampak (PAT) 22 Maret 2007.
"Bahwa tanah dan bangunan tersebut kini tertimbun
lumpur Lapindo yang merupakan bagian dalam PAT 22 Maret 2007 yang sudah
dilakukan jual beli oleh PT Minarak Lapindo Jaya" .
Untuk
saat ini, diskusi antara Pt Minarak Lapindo dan pemerintah terkait penyelesainnya
seperti apa sedang dibicarakan oleh kedua belah pihak.
Indonesia
sendiri memiliki banyak wiliyah yang terdapat potensi logam tanah jaran, menurut
kajian Kementrian ESDM pada tahun 2017, wilayah Sumatra Utara saja setidaknya
terapat 19.000 ton logam tanah jarang.
Kemudian
di pulau Bangka Belitung ada sekitar 383.000 ton, Kalimantan minimal 219 ton,
serta Sulaweri 433 ton.
Untuk
tingkat global, China merupakan produsen terbesar dengan 84% dari total
produksi logam tanah jarang dunia. Lalu diikuti negara-negara seperti Australia
yang memproduksi 11%, Rusia 2%, dan Brazil serta India 1%.
0 komentar: